[ Minutes before the chats . . . ]
“Kak Jere, gue kayaknya mau cerita sebentar sama lo.”
Dia nggak noleh ke gue, sebab masih harus beresin mejanya yang nyaris kayak kapal pecah. “Tapi ini mau ketemu kakak gue dulu sebentar, nggak apa-apa? Urgent nggak?”
“Nggak urgent kok, kak. Nanti gue chat lo aja deh kalau gitu.”
Ngeliat Kak Jeremy yang beres-beres, gue jadi ikutan beranjak sambil beresin meja sendiri sebelum buru-buru pulang.
“Pinter. Duluan ya!” He said, lalu melambaikan tangannya sambil membawa beberapa tentengan di lengan sebelah kirinya. Orang penting bawaannya antara seabrek atau ngga ada sama sekali, there is no in between. Gue yang udah rapi untuk pulang juga langsung jalan ke lift, tanpa celingak-celinguk dulu, meskipun gue sadar ada yang berdiri di samping tanaman palsu sambil bengong sedikit.
Gue nggak pernah kepikiran buat merhatiin temen gue yang satu itu dari balik pot pohon begini. Kenapa juga, gue nggak paham. Padahal, minggu lalu gue masih merasa kalau nggak ada untungnya buat selalu ada di samping dia setiap saat.
But, oh well. Look at me now.
Imej yang udah gue bangun sejak hari pertama kerja kayaknya bakalan runtuh hari ini—kalau memang sekiranya ada yang sadar, kalau gue lagi ngeliatin seseorang dari jauh. Bisa dikira stalker, kali. Si Gilang Abisatria yang dikenal dengan perawakan yang keren dan cool ini bisa aja sekarang dicap jadi Gilang Abisatria yang freak and a weirdo.
Dih, narsis.
“Lang, gak cabut lo?”
Pundak gue ditepuk agak keras, yang ternyata setelah gue menoleh ke kiri, ada San, di sebelahnya ada Bang Sagara. Keduanya sama gilanya, gue rasa. Bang Sagara is a perfectionist workaholic, yang kerjaannya bikin gue keteteran mulu. Sebelahnya, sih, dateng ke gue kalau mau minum doang. Nggak punya temen seumuran selain gue, katanya. Kalau boleh jujur, mereka termasuk orang baik di sini.
Cuma ya… tai-nya disisihin ke gue semua.
“Eh, San, Bang Saga. Gue nyusul.”
Bang Saga ngangguk pelan, lalu mulai jalan duluan. “Kabarin lo kosong kapan, gue kayaknya bakalan blacked out kali ini.”
Sinting, kan.
Gue cuma ngacungin jari tengah aja ke San. Nggak sadar, ternyata orang yang gue perhatiin dari tadi udah hilang aja dari pandangan. Mau gimana lagi, gue ikut berdesakan di lift. Begitu sampai basement, tanpa babibu masuk ke dalam mobil dan bergegas cari makan.
ㅤ
Sepanjang jalan, gue cuma kepikiran satu hal: dia udah makan belum, ya?
Maklum, kita sama-sama tinggal sendiri.